Senin, 19 November 2007

UN/UNTUS Pemacu Budaya Kerja Keras Bangsa?

Apa rahasia di balik kisah sukses orang-orang terkemuka dalam menjalani karier dan kehidupannya? Thomas Alva Edison berterus terang bahwa “Kejeniusan adalah 1% inspirasi dan 99% keringat”. Negarawan legendaris, Abraham Lincoln, meyakinkan bahwa “Saya memang seorang pejalan kaki yang lambat, tetapi saya tidak pernah berjalan mundur”. Dan pebisnis, Bob Sadino telah membuktikan bahwa “Modal saya hanya kemauan, tetapi saya punya kaki dan tangan, maka saya terus melangkah dan terus berbuat”. Prof. Djawad Dahlan (2006) mengemukakan hasil riset bahwa “Kesuksesan seseorang 80% ditentukan oleh kepribadiannya, sedangkan faktor intelektual hanya memberikan kontribusi 20%.”
Statement-statement itu pada intinya menegaskan salah satu sifat kepribadian yang diperlukan dalam menjalani kehidupan, yakni kerja keras. Mungkin atas dasar itu pula, Wapres Jusuf Kalla tetap bersikukuh dengan program UN/UNTUS yang dikaitkan dengan kelulusan siswa SD, SMP/MTS, dan SMA/MA/SMK. Budaya kerja keras harus ditempa dan ditanamkan pada diri siswa. Atmosfer budaya kerja keras tidak akan datang serta-merta. Untuk itu, siswa dan guru perlu dilecut dengan kerja keras antara lain dengan Ujian Nasional.
Memacu daya saing bangsa dan etos kerja keras merupakan sesuatu yang urgen dilakukan. SDM bangsa kita sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Semangat belajar siswa umumnya masih sangat rendah, budaya dan kemandirian belajar masih memperihatinkan, budaya menghargai hasil lebih dominan dibanding proses, kurangya apresiasi kepada prestasi, dan sepinya semangat berkompetisi masih mendominasi potret buram pendidikan kita.
Pada titik inilah, meski tujuannya masih disangsikan banyak pihak, kebijakan pemerintah menggelar UN harus dilaksanakan dengan baik. Bahkan pada tahun pelajaran 2007/2008 ini, UNTUS/UN mulai akan dilaksanakan di SD/MI, di SMP UN ditambah mata pelajaran IPA, di tingkat SMA mata pelajaran yang diujikan akan ditambah, dan mungkin standar kelulusan juga dinaikkan. Program ilmu alam ditambah dengan mata pelajaran biologi, fisika, dan kimia, sedangkan program sosial ditambah dengan mata pelajaran geografi, sosiologi, dan akuntansi. UNTUS di SD sedikit banyak akan menghambat program Wajar Dikdas 9 tahun. Perhelatan ini akan memperberat beban para siswa dan tersedotnya anggaran pemerintah untuk melaksanakannya.
Apa sepatutnya kita lakukan. Tidak ada jalan lain, kita harus memberi makna pada perhelatan nasional tersebut agar tidak menjadi sia-sia. Semua pihak jangan terjebak kepada target kelulusan dan prestise institusi/ pemerintah daerah yang menghalalkan segala cara. Kita tidak menginginkan uang rakyat menjadi kegiatan rutinitas yang mubazir.
Persoalannya, bagaimanakah agar perhelatan UN/UNTUS ekuivalen atau sebanding dengan peningkatan daya saing bangsa, kultur belajar, dan kerja keras? Kita harus menghindarkan diri dari praktik-praktik yang merendahkan dan meruntuhkan nilai-nilai pendidikan yang susah payah kita bangun selama ini. Memang, ada seribu satu macam alasan bahkan lebih, mengapa kita melakukan praktik yang tidak terpuji. Dengan dalih membantu kelulusan anak didiknya, menjaga kehormatan lembaga/daerahnya, atau menganggap UN/UNTUS bukan penilaian yang holistik dan adil sehingga kita berusaha membelanya. Agar proses evaluasi pendidikan tersebut tidak semakin buruk, kita semestinya menjaga agar UN/UNTUS dapat dilaksanakan secara jujur, objektif, dan kerja keras.
Standar kelulusan UN memang setiap tahunnya dinaikkan. Kenaikan tersebut berjalan seiring dengan tingkat kekhawatiran semua pihak, khususnya siswa, orang tua, guru, juga instansi terkait pun semakin menggumpal. Apalagi bila dalam beberapa try out dan Pra-UN/UNTUS para siswanya termasuk dalam kategori gagal. Kecemasan dan kegelisahan pun semakin memuncak.
Menghadapi semua itu, sepatutnya kita berintrospeksi, sudahkah perencanaan program pendidikan, pelaksanaan, dan evaluasi dilakukan secara optimal. Jangan-jangan, ikhtiar kita menggapai kelulusan selama ini belum terarah, konsisten, dan sungguh-sungguh. Mungkin usaha kita masih jauh dari ideal atau bahkan semakin menjauh dari tujuan membangun nation character building, kerja keras bangsa.
Kegagalan dan kesuksesan adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Orang yang ingin sukses harus tahu bahwa ada saat-saat kegagalan. Yang penting bukan sekedar mencari jalan sukses, tetapi juga mengerti “apa yang menyebabkan kegagalan.” Bukan meratapi, mengapa ini terjadi dan melakukan praktik tidak terpuji, tetapi berpikir apa yang harus dilakukan untuk mengatasi dan mengantisipasinya. Bimbingan religius dan psikologis harus ditanamkan pada anak didik kita dalam menghadapi UN.
Kita berharap, Ujian Nasional/Ujian Sekolah sejatinya mampu menularkan nilai-nilai luhur bagi kehidupan mereka. Pertama, ketabahan dan kesabaran dalam menjalani proses pembelajaran. Para siswa mampu harus mampu mengusir rasa malas yang kerapkali menderanya, berpaling dari keinginan untuk membolos pada saat pemantapan/bimbel, berlatih mengatasi kesulitan yang dialami pada saat belajar, mampu mengatasi kejenuhan yang kerap menyergap pikirannya. Kedua, mampu mengajarkan melakukan sesuatu sesuai dengan prioritas kepentingannya. Ia seharusnya belajar menimbang dan memutuskan suatu aktivitas, belajar atau melakukan aktivitas yang lainnya. Ketiga, belajar dari kegagalan. Kegagalan seharusnya dijadikan daya lecut untuk mengambil ibrah dan mengubah cara belajarnya yang lebih efektif dan efisien. Keempat, menghargai proses. Keberhasilan harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
Kiranya, menjadi tugas para guru dan orang tua di rumah untuk mengobarkan semangat para siswa/anak-anaknya agar terus belajar sungguh-sungguh dan bertanggung jawab memperjuangkan masa depannya. Wallahu a’lam.

Karnita, S.Pd.
Penulis, guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 13 Bandung
Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat

Tidak ada komentar: