Rentang Oktober-Desember 2010, Iin Solihin (15), siswa kelas III SMPN 7 Ciiamis asal Cijeunjing, Ciamis, Jawa Barat, dan 50 siswa lainnya memiliki tanggung jawab harian pukul 16.00-18.00. Dibagi dalam 10 kelompok dengan anggota 5-6 orang, mereka harus menyediakan air bagi tanaman sayur di lahan seluas 300 bata milik sekolah. Di lahan itu ditanam cabai, kacang panjang, tomat, kangkung, dan terung.
Cara mendapatkan air terbilang sederhana. Siswa mengambil air dengan ember dari sungai kecil yang berjarak 200 meter dari sekolah. Siswa juga wajib memeriksa kesehatan tanaman atau membersihkan gulma.
”Memang melelahkan, tetapi kami senang. Saya sendiri sebelumnya tidak paham bertani meski orangtua saya petani,” kata Iin yang berniat melanjutkan ke SMK Pertanian Ciamis.
Keringat siswa pun terbayar lunas saat panen tiba. Saat petani gagal panen sayur, ”petani” SMPN 7 Ciamis justru menikmati hasil panen melimpah. Mereka pun menjualnya guna membiayai program lingkungan selanjutnya.
Ketua Pelaksana Program Lingkungan Hidup SMPN 7 Rosidin (47) mencontohkan, cabai dijual Rp 15.000 per kilogram, jauh lebih murah dari harga di pasar Rp 30.000 per kg. Harga kacang panjang Rp 2.000 per kg atau lebih murah dibanding harga pasar Rp 6.000 per kg. Selain itu, tomat dijual Rp 6.000 per kg, jauh dari harga pasar Rp 12.000 per kg.
”Distributor cabai juga banyak yang datang setelah dengar kabar itu. Total penjualan mencapai Rp 27 juta,” ujarnya.
Saat ini, sebagai program berkelanjutan, mereka menanam jagung ternak dan manis sebagai upaya mempraktikkan teori tumpang sari. Sudah ada perusahaan swasta yang berjanji membelinya.
Sekolah gurem
Kepala SMPN 7 Ciamis Edi Rusyana Noer mengatakan, dua tahun lalu, sekolah yang berada di Jalan Baktikarya II, Kelurahan Kertasari, Kecamatan Ciamis, ini terbilang gurem. Nyaris tidak ada prestasi yang dibanggakan dari sekolah yang didominasi anak petani ini.
Semuanya berubah saat siswa dan pengajar mulai menerapkan program sekolah berbasis lingkungan tahun 2009 dan penanaman tanaman pertanian serta pohon keras setahun kemudian. Hasilnya, SMPN 7 dinobatkan sebagai pelestari lingkungan dan mampu mendulang keuntungan ekonomi lewat pemanfaatan lahan yang tepat.
Edi menjelaskan, konsep pemanfaatan lingkungan ini berawal lewat kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat Cerdas Bangsa. Melihat kondisi geografis sekolah, dipilihlah pertanian sebagai media utama. Ada beragam penelitian dan praktik, seperti pengolahan tanah, persemaian, pemupukan, dan pemeliharaan. Sekolah yang kini memiliki 275 siswa ini pun memasukkan konsep pertanian yang tepat dalam ekstrakurikuler dan muatan lokal lingkungan hidup.
Menurut Edi, cara ini memicu minat siswa pada pertanian. Meski kebanyakan anak petani, hanya sedikit yang tahu cara bertani. Banyak siswa tidak mengetahui cara mencangkul, jijik memegang pupuk organik, dan cara melakukan penyemaian yang tepat.
”Fakta itu sungguh ironis karena banyak anak petani tidak tahu cara bertani,” katanya.
Edi mengakui pernah ada nada sumbang. Masyarakat sempat protes ketika lapangan sepak bola diubah jadi ladang persemaian tanaman pertanian dan pohon keras. Beberapa orangtua murid keberatan saat sekolah mengajarkan cara bertani. Bertani dianggap tidak memiliki masa depan cerah.
Arboretum
SMPN 7 juga membuat terobosan lain dengan membuat arboretum pohon langka bernilai ekonomis dan kesehatan tinggi. Tujuannya agar pelestarian tanaman tetap berjalan sembari memberikan pengetahuan tambahan bagi siswa.
Pendamping Muatan Lokal Lingkungan Hidup SMPN 7 Hermawan Adam mengatakan, guru dan siswa menanam 27 jenis pohon dengan rata-rata 2-3 batang per pohon pemberian Balai Besar Planologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Bibit pohon berumur sekitar setahun, seperti duwet (Eugenia cumini), kemenyan (Styrax benzoin), ulin (Eusideroxylon zwageri), merbau (Instia bijuga), araucaria dari Papua (Araucaria cunninghamii), dan pronojiwo (Euchreta horsfieldii).
”Duwet asal India dan negara di Asia Tenggara berkhasiat menurunkan kadar gula darah dan pembekuan darah. Sedangkan ulin adalah pohon terbesar dan tertinggi di Indonesia; banyak digunakan untuk fondasi bangunan karena terkenal keras dan tahan air laut,” katanya.
Langkah inovatif yang dilakukan ternyata membuahkan pengakuan. SMPN 7 mendapat penghargaan Sekolah Berbudaya Lingkungan Provinsi Jawa Barat 2009. Selain itu, sekolah tersebut juga masuk nominasi Program Adiwiyata Nasional 2011. Adiwiyata adalah penghargaan tingkat nasional bagi sekolah yang mampu mengembangkan pendidikan lingkungan.
”Segala macam penghargaan itu kami anggap sebagai bonus dari semua yang kami lakukan. Tujuan akhirnya kesadaran untuk mau hidup berdampingan dengan alam,” kata Edi.(Cornelius Helmy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar