Selasa, 27 November 2007
Informasi
M. Zakaria Ansori dkk
Bagi seluruh kelas X ulangan Geografi bab III
tentang Tata surya Raya dan pembentukan Bumi
Syarat yang ikut ulangan adalah yang sudah menyelesaikan
tugas artikel kelompok
Senin, 19 November 2007
UN/UNTUS Pemacu Budaya Kerja Keras Bangsa?
Apa rahasia di balik kisah sukses orang-orang terkemuka dalam menjalani karier dan kehidupannya? Thomas Alva Edison berterus terang bahwa “Kejeniusan adalah 1% inspirasi dan 99% keringat”. Negarawan legendaris, Abraham Lincoln, meyakinkan bahwa “Saya memang seorang pejalan kaki yang lambat, tetapi saya tidak pernah berjalan mundur”. Dan pebisnis, Bob Sadino telah membuktikan bahwa “Modal saya hanya kemauan, tetapi saya punya kaki dan tangan, maka saya terus melangkah dan terus berbuat”. Prof. Djawad Dahlan (2006) mengemukakan hasil riset bahwa “Kesuksesan seseorang 80% ditentukan oleh kepribadiannya, sedangkan faktor intelektual hanya memberikan kontribusi 20%.” Statement-statement itu pada intinya menegaskan salah satu sifat kepribadian yang diperlukan dalam menjalani kehidupan, yakni kerja keras. Mungkin atas dasar itu pula, Wapres Jusuf Kalla tetap bersikukuh dengan program UN/UNTUS yang dikaitkan dengan kelulusan siswa SD, SMP/MTS, dan SMA/MA/SMK. Budaya kerja keras harus ditempa dan ditanamkan pada diri siswa. Atmosfer budaya kerja keras tidak akan datang serta-merta. Untuk itu, siswa dan guru perlu dilecut dengan kerja keras antara lain dengan Ujian Nasional. Memacu daya saing bangsa dan etos kerja keras merupakan sesuatu yang urgen dilakukan. SDM bangsa kita sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Semangat belajar siswa umumnya masih sangat rendah, budaya dan kemandirian belajar masih memperihatinkan, budaya menghargai hasil lebih dominan dibanding proses, kurangya apresiasi kepada prestasi, dan sepinya semangat berkompetisi masih mendominasi potret buram pendidikan kita. Pada titik inilah, meski tujuannya masih disangsikan banyak pihak, kebijakan pemerintah menggelar UN harus dilaksanakan dengan baik. Bahkan pada tahun pelajaran 2007/2008 ini, UNTUS/UN mulai akan dilaksanakan di SD/MI, di SMP UN ditambah mata pelajaran IPA, di tingkat SMA mata pelajaran yang diujikan akan ditambah, dan mungkin standar kelulusan juga dinaikkan. Program ilmu alam ditambah dengan mata pelajaran biologi, fisika, dan kimia, sedangkan program sosial ditambah dengan mata pelajaran geografi, sosiologi, dan akuntansi. UNTUS di SD sedikit banyak akan menghambat program Wajar Dikdas 9 tahun. Perhelatan ini akan memperberat beban para siswa dan tersedotnya anggaran pemerintah untuk melaksanakannya. Apa sepatutnya kita lakukan. Tidak ada jalan lain, kita harus memberi makna pada perhelatan nasional tersebut agar tidak menjadi sia-sia. Semua pihak jangan terjebak kepada target kelulusan dan prestise institusi/ pemerintah daerah yang menghalalkan segala cara. Kita tidak menginginkan uang rakyat menjadi kegiatan rutinitas yang mubazir. Persoalannya, bagaimanakah agar perhelatan UN/UNTUS ekuivalen atau sebanding dengan peningkatan daya saing bangsa, kultur belajar, dan kerja keras? Kita harus menghindarkan diri dari praktik-praktik yang merendahkan dan meruntuhkan nilai-nilai pendidikan yang susah payah kita bangun selama ini. Memang, ada seribu satu macam alasan bahkan lebih, mengapa kita melakukan praktik yang tidak terpuji. Dengan dalih membantu kelulusan anak didiknya, menjaga kehormatan lembaga/daerahnya, atau menganggap UN/UNTUS bukan penilaian yang holistik dan adil sehingga kita berusaha membelanya. Agar proses evaluasi pendidikan tersebut tidak semakin buruk, kita semestinya menjaga agar UN/UNTUS dapat dilaksanakan secara jujur, objektif, dan kerja keras. Standar kelulusan UN memang setiap tahunnya dinaikkan. Kenaikan tersebut berjalan seiring dengan tingkat kekhawatiran semua pihak, khususnya siswa, orang tua, guru, juga instansi terkait pun semakin menggumpal. Apalagi bila dalam beberapa try out dan Pra-UN/UNTUS para siswanya termasuk dalam kategori gagal. Kecemasan dan kegelisahan pun semakin memuncak. Menghadapi semua itu, sepatutnya kita berintrospeksi, sudahkah perencanaan program pendidikan, pelaksanaan, dan evaluasi dilakukan secara optimal. Jangan-jangan, ikhtiar kita menggapai kelulusan selama ini belum terarah, konsisten, dan sungguh-sungguh. Mungkin usaha kita masih jauh dari ideal atau bahkan semakin menjauh dari tujuan membangun nation character building, kerja keras bangsa. Kegagalan dan kesuksesan adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Orang yang ingin sukses harus tahu bahwa ada saat-saat kegagalan. Yang penting bukan sekedar mencari jalan sukses, tetapi juga mengerti “apa yang menyebabkan kegagalan.” Bukan meratapi, mengapa ini terjadi dan melakukan praktik tidak terpuji, tetapi berpikir apa yang harus dilakukan untuk mengatasi dan mengantisipasinya. Bimbingan religius dan psikologis harus ditanamkan pada anak didik kita dalam menghadapi UN. Kita berharap, Ujian Nasional/Ujian Sekolah sejatinya mampu menularkan nilai-nilai luhur bagi kehidupan mereka. Pertama, ketabahan dan kesabaran dalam menjalani proses pembelajaran. Para siswa mampu harus mampu mengusir rasa malas yang kerapkali menderanya, berpaling dari keinginan untuk membolos pada saat pemantapan/bimbel, berlatih mengatasi kesulitan yang dialami pada saat belajar, mampu mengatasi kejenuhan yang kerap menyergap pikirannya. Kedua, mampu mengajarkan melakukan sesuatu sesuai dengan prioritas kepentingannya. Ia seharusnya belajar menimbang dan memutuskan suatu aktivitas, belajar atau melakukan aktivitas yang lainnya. Ketiga, belajar dari kegagalan. Kegagalan seharusnya dijadikan daya lecut untuk mengambil ibrah dan mengubah cara belajarnya yang lebih efektif dan efisien. Keempat, menghargai proses. Keberhasilan harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Kiranya, menjadi tugas para guru dan orang tua di rumah untuk mengobarkan semangat para siswa/anak-anaknya agar terus belajar sungguh-sungguh dan bertanggung jawab memperjuangkan masa depannya. Wallahu a’lam. Karnita, S.Pd. Penulis, guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 13 Bandung Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat |
Memaknai Hari Guru
Hari Guru diperingati di seantero dunia secara berbeda-beda. Di Indonesia, Hari Guru jatuh pada tanggal 25 November 2007 yang bertepatan dengan Hari PGRI; di Amerika Latin tanggal 11 September; di Brazil tanggal 15 Oktober; di Meksiko 27 September; di Albania pada 7 Mei; di Cina tanggal 10 September, di Republik Czech pada 28 Mei, Malaysia pada 16 Mei, di India pada 5 September, di Korea Selatan pada 15 Mei, di Rusia pada 5 Oktober, di Taiwan pada 28 September, di Thailand pada 21 November, di Amerika diperingati pada hari Selasa pertama bulan Mei, sedangkan Hari Guru Internasional (International Teacher Day, ITD) sendiri diperingati pada tanggal 5 Oktober. Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 13 Bandung |
Minggu, 18 November 2007
MY EXPERIENCE ABOUT LIFE…..
Kebutuhan yang penting yang harus saya pelajari juga. Mengingat saya hidup di kota besar sendiri, juga karena kehidupan remaja yang terkesan ‘liar’ di mata orang tua. Tak heran banyak orang tua yang melarang ini itu pada anaknya. Kecuali saya. Saya agak berbeda. Orang tua saya mengerti saya. Mereka memberikan sesuatu yang sangat sangat berharga buat saya, yang mungkin tidak semua remaja mendapatkannya. Yaitu sebuah kepercayaan. Ya, karena kepercayaan merekalah yang dapat membantu saya dengan mudah dapat mengetahui apapun yang ingin saya ketahui. Bukan berarti diberi kepercayaan dapat melakukan apa saja seenaknya. Justru itu adalah beban tanggung jawab saya kepada orang tua. Di mana orang tua yang memberikan kepercayaan adalah untuk tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan mandiri. Karena menurut buku yang pernah saya baca, ‘Besar itu pasti, tapi dewasa belum tentu. ’
Jadi untuk menjadi dewasa itu susah. Apalagi masa-masa peralihan ke dewasa seperti sekarang. Untuk remaja seperti saya itu terlalu banyak godaannya. Hal-hal negatif mudah sekali meracuni pikiran remaja, karena rentannya remaja terpengaruh oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Tapi menurut saya semuanya bisa dilalui dengan aman ada rambu-rambu yang di buat oleh kita sendiri. Jadi prinsipnya seperti ini, apa yang kita jalani adalah untuk hidup kita. Seandainya kita melakukan hal-hal yang buruk toh kita sendiri yang akan merasakan akibatnya.(Mita M.jan’05)
POSITIVE THINKING DONK !
Wajar-wajar aja sih. Itu alamiah kok. Nggak ada kan, yang ngelarang orang jatuh cinta? Wah paling juga orang tua. Tapi kenapa sih mereka ngelarang? Emangnya mereka nggak pernah ngerasain jatuh cinta? Namanya juga orang tua. Kita harus positive thinking aja! Yang namanya orang tua tuh pastinya nggak akan ngejerumusin kita ke hal-hal yang nggak bener. So, kalo mereka ngelarang ini itu sama kita, bukan berarti mereka nggak sayang sama kita. Tapi malah mereka itu sayang banget sama kita.
Nah! Kebanyakan remaja seperti kita nih di masa pubernya, egonya jadi tinggi, cuek, dan cepat emosian. Untuk mereka yang memiliki sifat-sifat tadi, harus segera bisa di atasi tuh! Soalnya kalau nggak cepat-cepat dihilangkan, sifat-sifat tadi bakalan ikut kita sampai kita dewasa nanti. Nggak mau kan kalau someday kita dewasa, kita jadi orang yang tersisihkan karena keegoisan kita? Aduuh…enggak banget deh! Makanya, dari sekarang kita harus pandai-pandai mengambil sikap.
Kita sebagai remaja tau banget kalau di masa remaja ini, pikiran kita lagi labil, mudah terpengaruh, selalu ingin mencoba hal baru, dan agak sedikit sensitif. Sebenarnya semuanya bisa kita kendalikan kok. Contohnya ego, ego itu bisa dikendalikan. Tentu saja dari diri kita sendiri. Emang nggak mudah sih nurunin ego, tapi kenapa nggak kita coba sedikit demi sedikit? Dengan cara, mencoba untuk memahami orang lain, mengalah, dan memaklumi orang lain. Orang yang mau mengalah demi orang lain adalah orang yang berjiwa pemenang. Itu kata filsuf lho!
Kita sebagai remaja modern, harusnya bisa menunjukkan bahwa kita adalah remaja yang selalu berpikiran positif. Dengan kita berpikiran positif maka apapun yang kita jalani akan menghasilkan hasil yang baik pula. (MITA M./Jan’05)
Jumat, 16 November 2007
Apa itu OSIS ?
Jadi sebenarnya OSIS itu adalah juga memberikan pembelajaran kepada siswa lewat kegiatan-kegiatan yang sifatnya menunjang akademik, contoh tadi menunjang mata pelajaran Agama Islam, Bakti sosial menunjukkan bahwa kita secara nyata bisa melaksanakannya ke masyarakat lewat panti-panti atau, langsung ke masyarakat lewat pengurus RT atau RW. Jadi tidak hanya secara teoritis bagaimana pelajaran PPKN atau Agama dalam memcontohkan rasa sosial kemasyarakatannya, juga bagaimana mempersiapkan, mengadakan rapat, menghimpun para donatur, mengumpulkan barang, mengkordinasikan kegiatan sampai ke distribusi barang, sehingga siswa belajar berorganisasi sekaligus juga belajar memimpin dalam suatu lingkup yang kecil yaitu sekolah. Disini saja kita bisa melihat bahwa ternyata bahwa OSIS itu bukan suatu pekerjaan yang kurang bermanfaat kurang penting dibanding akademik, tetapi sebenarnya pendidikan itu tidaklah suatu pendidikan yang sifatnya formal saja di kelas dengan hitungan ini dan itu tetapi perlu diejawantahkan dalam kegiatan yang nyata sehari-hari. Sehingga nyata bahwa OSIS itu merupakan suatu lembaga yang mendukung ke dalam akademik sesuai dengan harapan dari undang-undang Pendidikan Nasional. Jadi sebenarnya program akademik formal di sekolah itu dengan kegiatan Kesiswaan lewat OSIS itu saling mendukung dan saling membutuhkan, tidak saling berdiri sendiri. Banyak mantan para pengurus OSIS dari sekolah-sekolah yang sebenarnya sejak dulu sudah jadi orang yang sukses baik pengusaha, para pejabat, maupun organisasi sosial lainnya di masyarakat. Karena dari lembaga OSIS itu sendiri banyak yang dapat di ambil manfaatnya. Dalam bahasa lain kita sebenarnya membutuhkan soft skill, artinya ada pelajaran atau pemahaman yang sebenarnya dibutuhkan oleh para siswa yang tidak bisa diajarkan di kelas, misalnya praktek kepemimpinan dan cara berorganisasi.
Saya kira tulisan ini akan memberikan pencerahan bagi para siswa dan yang membacanya semoga tidak menjadi salah persepsi akan kegiatan-kegiatan OSIS. Bravo !
Asefful Anwas
Pembina OSIS
Pengantar Untuk Kelulusan
Anak-anakku, siswa-siswi lulusan SMA Negeri 13 yang saya banggakan tentunya kebahagiaan kita tidak sampai berhenti di sini saja, tetapi ini baru selesai dari satu tahap perjuangan yang kita cita-citakan, perjuangan kita masih jauh, masih harus menempuh satu tahap pendidikan lagi yaitu harapannya bagi yang mampu bisa meneruskan ke perguruan tinggi dan bagi yang belum bisa terjun langsung ke masyarakat. Ini baru awal perjuangan di tahap pendidikan selanjutnya. Belajarlah dengan tekun dan penuh semangat untuk mencapai cita-citamu yang masih harus diperjuangkan . Manusia itu hidup untuk belajar, dan belajar itu sepanjang hayat kita seperti kata pepatah “long life for education”.
Anak-anakku sekalian yang saya cintai, harapan saya selaku pembina OSIS SMA Negeri 13 bandung, ingatlah selepas kalian dari almamater berjuanglah dengan jujur, berbudi pekerti luhur, penuh semangat, ulet dan disiplin, sebab hal itu dikemudian hari akan dkiperlukan dalam menempuh bahtera kehidupan selanjutnya. Pendidikan itu tidak selalu harus berarti pendidikandi sekolah, pendidikan itu pembelajaran dari kehidupan baik formal maupun informal seperti di keluarga dan masyarakat. Ambillah ilmunya kembangkan oleh kita jadikan pegangan dalam hidup kita supaya kita bisa jadi orang yang diharapkan oleh orang tua, guru dan masyarakat. Saya sebagai Pembina OSIS akan bangga jika kalian nanti bisa menjadi orang yang dapat diandalkan oleh keluarga dan masyarakat. Disamping itu belajarlah ilmu agama supaya kita bisa punya pegangan moral dalam hidup kita sehari-hari agar kita menjadi orang yang bahagia hidup di dunia dan sejahtera di akhirat nanti. Amiin.
Demikianlah anak-anakku sekalian, mudah-mudahan langkah kita ke depan dimulai dengan niat yang benar dan jujur pada diri kita, berbaktilah pada orang tua dan guru, agar ke dua orang tua kita selalu mendoakan kita untuk menjadi orang yang diharapkan. Amin
Billahi taufik wal hidayah, wassalumu alaikum wr. wb.
Asefful Anwas
Pembina OSIS