Hari Guru diperingati di seantero dunia secara berbeda-beda. Di Indonesia, Hari Guru jatuh pada tanggal 25 November 2007 yang bertepatan dengan Hari PGRI; di Amerika Latin tanggal 11 September; di Brazil tanggal 15 Oktober; di Meksiko 27 September; di Albania pada 7 Mei; di Cina tanggal 10 September, di Republik Czech pada 28 Mei, Malaysia pada 16 Mei, di India pada 5 September, di Korea Selatan pada 15 Mei, di Rusia pada 5 Oktober, di Taiwan pada 28 September, di Thailand pada 21 November, di Amerika diperingati pada hari Selasa pertama bulan Mei, sedangkan Hari Guru Internasional (International Teacher Day, ITD) sendiri diperingati pada tanggal 5 Oktober. Meski dilakukan tidak secara serentak, namun tetap pada intinya, semua negara sangat menghormati jasa-jasa besar guru dalam mencerdaskan manusia di negaranya masing-masing. Peringatan juga menunjukkan pengakuan dan apresiasi pemerintah terhadap profesi guru. Seberapa besarkah pengakuan terhadap guru dalam pembangunan SDM bangsanya? Presiden RI pertama, Soekarno, berujar, “Guru bukan penghias alam, tetapi membentuk manusia”. Bapak bangsa Vietnam, Ho Chi Minh, menegaskan, “No teacher no education, no education no economic and social development”. Kaisar Jepang pada pascapengeboman Hirosima dan Nagasaki, yang pertama kali beliau tanyakan adalah berapa orang guru yang masih hidup dan menugaskannya untuk segera didata. Itu semua menunjukkan bahwa mereka menyadari benar tentang pentingnya guru bagi pembangunan suatu bangsa. Jelaslah, di negara manapun, guru diakui sebagai suatu profesi. Guru diagungkan, disanjung, dikagumi karena perannya yang sangat penting. Namun peran ini, menurut Gerstner dkk, pada abad ke-21 ini mengalami perubahan. Perubahan berpusar pada pola relasi antara guru dengan lingkungannya: dengan sesama guru, dengan siswa, dengan orang tua, dengan kepala sekolah, dengan teknologi, dan dengan kariernya sendiri. Menurutnya, guru akan lebih tampil tidak lagi sebagai “pengajar” seperti menonjol fungsinya selama ini, melainkan sebagai: pelatih, konselor, manajer belajar, partisipan, pemimpin, dan pelajar. Pada ulang tahun Hari Guru Nasional dan PGRI yang ke-62 ini seyogianya kita dapat memaknai dua momen penting tersebut. Peringatan dirasakan sangat penting, mengingat kondisi pendidikan nasional kita masih terpuruk di tengah komparasi bangsa-bangsa lain di dunia. Hal ini berbanding lurus dengan kualitas SDM kita yang sangat rendah dan multikrisis yang juga belum teratasi di negeri ini. Berbagai persoalan yang membelit pendidikan nasional juga demikian menumpuk seolah sulit dipecahkan. Pertama, profesionalisme guru merupakan prasyarat terlahirnya sumber daya manusia yang berkualitas. Upaya pemerintah melaksanakan sertifikasi berbasis penilaian portofolio secara bertahap untuk beberapa tahun ke depan sungguh sangatlah memperihatinkan. Betapa perbaikan suatu pembangunan SDM tenaga pendidik harus menunggu dalam antrean yang sangat panjang dan waktu yang lama. Seharusnya pemerintah melakukan percepatan program tersebut bila tidak ingin generasi penerusnya tetap dalam kondisi yang tidak berkualitas. Pemerintah seharusnya dapat memprioritaskan profesionalisme guru dibanding dengan pembangunan lainnya. Sebab sesungguhnya, melalui pembangunan SDM ini kelak akan mampu mendongkrak pembangunan sektor lainnya. Kedua, kesejahteraan guru yang relatif rendah. Rekomendasi Unesco dan ILO yang seharusnya dijadikan rujukan dalam memberikan penghargaan terhadap status dan martabat guru. Dokumen tersebut secara khusus menekankan pentingnya kesejahteraan guru yang mencakup empat aspek: (1) gaji guru, (2) jaminan sosial, (3) perlindungan profesi guru, (4) pemenuhan hak dan kewajiban guru. Khusus mengenai gaji guru, dalam Pasal 114-124 mensyaratkan kriteria gaji guru sebagai berikut: (1) harus sebanding dengan gaji profesi lain yang relatif sama, (2) sesuai penghargaan sosial masyarakat dan pemerintah terhadap guru, (3) kompetitif positif dengan profesi yang memiliki syarat yang sama, (4) cukup untuk hidup layak dan meneruskan pendidikan dan apresiasi budaya serta pola hidup sesuai dengan jabatan, (5) cermin penghargaan masyarakat terhadap pendidikannya, (6) cukup menarik untuk menjaring SDM yang baik. Ketiga, perbaikan sistem dan model penghargaan terhadap guru. Pemberian penghargaan terhadap guru merupakan salah satu upaya nyata untuk memposisikan guru sebagai insan pendidikan dalam lingkup kehidupan bermasyarakat dan berbegara secara wajar, adil, dan manusiawi. Upaya ini merupakan tanggung jawab bersama semua pihak terkait dalam rangka mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna. Sejajar dengan upaya pembenahan sistem pengganjaran terhadap guru yang berupa gaji, tunjangan, dsb. Perlu dikembangkan satu model penghargaan dalam bentuk tertentu yang sedemikian rupa berdampak adanya pengakuan dan penghormatan dari masyarakat terhadap guru dan sekaligus sebagai sumber motivasi bagi para guru itu sendiri. Pemberian penghargaan diharapkan dapat memberikan motivasi kepada guru untuk secara intrinsik lebih menyadari akan posisi dan tanggung jawabnya sehingga mendorong untuk berkinerja secara optimal. Makna penghargaan dalam konteks ini adalah “sesuatu” yang diberikan secara resmi kepada guru sebagai pengakuan dan penghormatan atas prestasi kinerja yang telah diwujudkannya secara cemerlang baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun kinerja profesionalnya dalam pendidikan. Dirgahayu Guru Indonesia!
Karnita. S.Pd. Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 13 Bandung Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat
|
1 komentar:
Saya setuju jurnal ini dipublikasikan semoga bermanfaat.
Posting Komentar